Wednesday, November 19, 2008

ARAL

Gerimis senja, titik demi titik air hujan menyentuh tanah. Satu dua titik-titik itu mulai merembes pada rumput-rumput rumah sakit yang menyebar kehijauan. Di atas lantai ketiga rumah sakit bertengger sesosok gadis sayu di atas kursi rodanya menatap kaca jendela di depannya sembari berkali-kali mengusap embun yang tak kian menguap. Tepat di lantai dasar halaman rumah sakit, dibawah ring basket yang mulai meneteskan air resapan air hujan, seorang jangkung terlihat sedang mendribel bolanya berkali-kali. Tak peduli akan kaosnya yang basah karena rintihan air hujan. Hebat memang, tak ada satu bola pun yang tak dimasukannya ke dalam ring. Sembari terus mendribel dan memasukkan bola, gadis sayu penderita kanker tulang 3 lantai di atasnya tersenyum manis.
“Happy birthday to you, happy birthday happy birthday happy birtday ganteng” gumam Greece, gadis yang sudah setahun mengidap penyakitnya hingga ia tak lagi memiliki sepasang kakinya yang molek. Hari ini setahun pula pertemuannya dengan cowok basket yang kerap kali bermain di halaman rumah sakit.
“Hari ini, tanggal 17 Februari pertama kalinya kita ketemu. Dan setahun sudah pertemuan kita, saat itu aku ...”
“Hai Greece! Tambah cantik atau jelek? Lagi senyum apa merengut?” pintu kamar terbuka dan cowok dengan rambut model anak kucing yang baru bangun tidak masuk dengan gaya sok cool.
“Ceko? Ngagetin aja.”
“Lagi ngapain? Cowok itu lagi?” ujarnya masam ketika melihat cowok jangkung itu dibawah sana.
“Setahun yang lalu saat dokter memutuskan untuk mengamputasi kakiku, saat itu pula dengan sekejap aku kehilangan segalanya. Aku kehilangan mudaku, sekolahku, teman-temanku, semuanya! Mungkin kamu tak mengerti bagaimana sakitnya hatiku saat itu. Detik-detik terakhir bersama kakiku. Tak ada yang bisa aku lakukan denan kaki yang mengandung banyak penyakit itu. Aku hanya bisa duduk di kursi rodaku, tangisku tak mampu mengembalikan segalanya. Tapi saat itu aku melihatnya dan rona wajahnya menyemangatkanku. Dan saat itulah aku hidup.”
“Sebegitukah dia berarti bagimu?”
“Karena dialah aku masih mau menjalani perawatan”
Masamnya wajah Ceko kini semakin masam. Tatkala mendengar penuturan dari gadis yang disukainya. Tak tahan lebih lama lagi Ceko pun memilih meninggalkan tempat itu.
Gerimis semakin tajam menusuk dedaunan. Pemuda di luar sana masih belum menyurutkan langkahnya, padahal sekarang wajahnya sudah teraliri banyak air. Bola basket di tangannya terus mendribel keras dan berkali-kali keluar masuk ring.
Pandangan Greece tak beralih hingga sesosok gadis membawa payung merah mendekat ke arah pemuda jangkung itu. Seketika pemuda itu berhenti bermain dan menerima sodoran payung gadis itu kemudian pergi dengan tawa.
Hati Greece mencelos. Ia lantas memalingkan muka saat terlihat cowok basket itu menggandeng gadis itu bersama di bawah satu payung merah.
ooOoo

“Hei!” Seru Ceko kepada cowok basket itu suatu sore di lapangan basket.
Cowok itu hanya melirik sesaat lalu kembali memasukan bola basketnya.
“Ada cewek yang mau kenalan ma loe,” ujar Ceko tanpa basai-basi.
Cowok itu terus mendribel bola.
“Namanya Greece.”
Si jangkung menoleh sesaat ke arah Ceko lalu mendribel bolanya lagi.
“Dia pengin banget kenal sama loe. Dia tu ...”
“Gue Aral.” ucap pemuda tanpa sedikitpun menatap Ceko yang sedang mengajaknya bicara.
“Greece ada di atas loe.”
Aral berhenti bermain sejenak lalu mendongak.
Gadis diatas sana tersenyum manis.
Aral kembali memasukkan bola lalu beranjak.
Sepeninggal Aral, Ceko mendongak lalu tersenyum tipis sambil mengangkat kedua ibu jarinya ke arah Greece. Padahal hatinya kini sedang berkecamuk.
ooOoo

Semakin hari kondisi Greece semakin melemah, kata dokter sel kankernya tumbuh lagi dan mulai menjamah tubuhnya. Namun setidaknya ada Aral yang menambah semangat hidupnya. Dia masih bisa tersenyum apabila sedang membicarakan rencana pertemuanya dengan Aral. Tapi selepas dari itu segaris senyumpun tak tergores di bibirnya.
Hari ini hari Minggu tepat Greece akan bertemu dengan Aral dibawah ring basket. Setelah terlihat Aral memasuki lapangan dengan susah payah Greece meminta ijin dari dokter, akhirnya dia bisa keluar.
“Aral.” Ujar Greece begitu sampai diujung lapangan.
Pemuda yang tengah mengenakan singlet orange itu menoleh lalu tersenyum. “Loe yang namanya Greece?” ujarnya pelan lalu kembali mendribel.
“Ya, aku Greece pasien lantai 3 kalo kamu pasien rumah sakit ini juga?”
“Apa pantas seorang sempurna sepertiku disebut pasien?”
Ceko yang sejak tadi dibelakangnya Greece tak kuasa menahan emosi. Kalau bukan karena Greece menahannya mungkin sekarang cowok sombong itu sudah lebur.
Aral memasukkan bola ke ring namun ia tak dapat menangkap bola itu. Bola itu justru menggelinding tepat dibawah kursi roda Greece. Aral menangkap bola itu dan menganga melihat tak ada setapak kaki menapak kaki kursi.
“Ka ... kaki loe?” getarnya.
“Kaki gue diamputasi setahun yang lalu”
“Amputasi???”
“Kanker tulang.”
“Apa? Kanker tulang? Enggak!” Aral menyerobot tasnya lalu berlari cepat sekali. Dia tak melihat gadis yang ditinggalnya tengah bersimbah air mata.
ooOoo

Kanker yang diderita Greece sudah menyerang sel saraf motoriknya. Hingga media penggeraknya mulai melemah. Kedua tangannya sudah tampak susah digerakan, sempat beberapa kali benda di tanganmu jatuh dengan sendirinya. Dia juga sudah mulai susah menggerakan bibirnya untuk berucap.
Hanya satu yang dapat dilakukannya sekarang ini. Menangis dalam diam dibawah siloet Aral. Berhari-hari ia tersedu samping jendela menatap postur tubuh yang sempurna dibawah sana yang tak henti-hentinya memasukan bola.
Mengingat usianya yang tinggal menghitung detik saja, dengan usaha kerasnya Greece mencoba keluar kamar seorang diri. Tangan yang sudah melemah dipaksanya untuk menggeser roda di samping kursinya. Berkali-kali ia menabrak koridor dan berkali-kali pula orang lewat menolongnya.
Akhirnya setelah susah payah bergerak sampailah ia pada lift dan turun. Lift telah mengantarnya pada lantai dasar, namun begitu pintu lift terbuka semua organnya tak bisa digerakkan seketika itu. Greece tetap diam di tempatnya tetap berusaha menggerakkan tangannya tapi tetap saja hasilnya nihil.
Beberapa menit Greece di dalam lift yang terbuka tanpa sedikitpun menggerakkan badannya hingga seorang suster datang. Suster yang rupanya cukup mahir itu mengantar Greece ke lapangan setelah dengan cekatannya mengetahui bahasa isyarat Greece.
“Hai.” Ucap Greece getir. Tiba-tiba saja seluruh anggota tubuhnya kembali seperti semula.
Aral hanya menoleh sesaat. Mukanya sinis.
“Aku cuma mau bilang kalau aku sayang sama kamu.”
Tembakan Aral meleset.
“Sudah setahun ini aku merhatiin kamu dari atas sana. Karena kamulah aku mampu menjalani hidupku dengan kaki buntung. Aku tahu kamu jijik sama aku. Aku cuma mau bilang makasih karena kamulah penyebar semangatku.”
“Enggak! Kamu ga boleh suka sama aku! Ga boleh!” gertak Aral.
“Ta ... t ... tapi ... k ... kna ... nap ...” mulutnya kembali susah digerakkan.
“Aku seorang pemain basket terkenal, sebentar lagi aku akan ikut KOBATAMA. Dan aku ga mau seorang CACAT kaya kamu menyukaiku!”
Greece kehilangan separo nyawanya.
“Ta ... p ... i ... ka ... na ... mu ... lah ... ku ... h ... dup”
“Aku ga mau jadi penyebar semangatmu! Mending kamu cari orang lain saja! Nggak mungkin!”
¼ lagi nyawa Greece berkurang.
“Aral.” Sahut sosok gadis yang pernah dilihat Greece tempo hari. Gadis itu mendekat, wajahnya shock ketika melihat kondisi tubuh Greece.
“Siapa dia?”
“Dia ... Kak, Aral ga mau! “geram Aral lalu kabur. Berlari sekencang angin.
Cewek yang ternyata kakak Aral itu mendekati Greece menatapnya dari ujung rambut sampai ujung ... tersenyum tipis lalu pergi baru setengah jalan ia memanggil suster yang nantinya mengantar Greece kembali kekamarnya.
ooOoo

“Aarrggh! Kenapa aku buntung? Kenapa aku ga’ punya kaki? Kenapa Aral jahat sama aku? Kenapa? Kenapa Tuhan ... kenapa?”
Glontang! Glontang! Bruk! Bruk! Prang ....! Greece membanting semua benda yang ada dikamarnya.
“Aaaaargrrgh!” ia mencoba menggotong kasurnya namun dirinya sendiri yang malah terjengkang. Kursi rodanya membalik dan terjatuh terpelanting ke belakang. Kepalanya membentur ujung meja dan tangannya tertusuk beling guci yang pecah.
Perawatan intensif. Itulah yang harus dijalani Greece sekarang. Kankernya kini sudah menyebar ke seluruh tubuh bahkan jantung dan paru-parunya.
“Bersiaplah menghadapi segala kemungkinan.” Kata-kata terakhir yang dokter ucapkan.
ooOoo

“Aral ... Aral ...” nama itu selalu muncul di setiap hembusan napas Greece yang tergeletak lemah di RS. Namun, Aral sama sekali tak pernah menampakkan batang hidungnya. Ceko sudah berkali-kali membujuknya untuk datang sekedar menilik gadis yang sangat mencintainya. Tapi, hati Aral bagaikan sebongkah batu! Dia sama sekali tak menunjukkan kemelasannya pada Greece.
“Aral ... Aral ... Aral...”
“Greece, ini gue Ceko. Ini gue Greece, sahabat loe. Aral? Kenapa selalu dia yang ada diotakmu. Tidakkah ada secelahpun hatimu unttuku? Gue sayang Greece ma loe. Gue sayang.”
“Ceko, kamu sayang aku?” tiba-tiba Greece tersadar.
“Greece? Kamu sadar, syukurlah.”
“Ceko, apa bener apa yang aku denger tadi?”
Ceko mengangguk pelan.
“Kamu mau ga menuhin permintaan terakhir ku.”
“Enggak! Loe boleh minta apapun dari gue asal jangan permintaan terakhir loe!”
“Aku ingin ketemu Aral, sebelum aku pergi”
“Tapi ...”
“Aku mohon, He ....” Greece menghela napas panjang. “T ... tolong ...”
“Iya! Iya! Gue bakal bawa Aral kesini tapi-tapi loe janji loe harus kuat. Janji. Dokter ....”

Sore ini sama seperti sore-sore sebelumnya. Tak ada yang berubah, suasana rumah sakit, rumput sayu, aroma obat yang menusuk dan dipojokan seperti biasa seorang muda tengah mengeshoot bola.
“Sekali lagi gue mohon, please temuin Greece.” Mohon Ceko dengan suara datar. Aral masih tak bergeming.
“Greece sekarat. Dia bener-bener butuh loe.”
“Gue udah bilang berkali-kali, gue ga mau! Kenapa ga loe aja. Lagian kenapa juga mesti gue.” Akhirnya Aral tancap suara.
“Yang gue mau juga gitu. Gue ingin jadi penyebar semangat bagi Greece. Gue ingin jadi orang yang bener-bener dia sayang gue ingin jadi orang yang sangat berarti menjelang akhir hayatnya tapi, dia lebih milih loe.”
“Itu bukan salah gue.”
“Bukan salah loe. Ya! Setahun!! Setahun Greece memendam perasaannya. Setahun Greece menjadikan loe alasan untuk hidup. Tapi apa? Orang yang selama ini sangat berarti baginya ....”
“Cukup!”
“Hanya karena dia cacat loe sama sekali ga mau nemenin dia? Sedetikpun???”
“Enggak!”
“Loe batu!” Emosi Ceko memuncak. “Loe bener-bener ga punya hati tau ga! Greece mau mati!”
“Gue bilang gue ga mau. GUE GA MAU BERURUSAN SAMA ORANG CACAT KAYA DIA. GUE GA MAU ...”
“GREECE MAU MATI GOBLOG!!!” Bug! Ceko tak tahan lagi. Ia memukul Aral tajam.
“ ... BERURUSAN SAMA ORANG YANG MAU MATI! AARRRGGGHHH. AAAARRRRGGGGHH!” Aral tersungkur.
Setelah satu pukulan mematikan Ceko diperutnya darah tersembur “GUE GA MAU ...” gerangnya.
Tiba-tiba ponsel Ceko berdering.
“Hallo ...” dan ponselnya terjaduh. “WUAAAACH” BUG! BUG!! Ia kembali memukuli Aral, kali ini dengan seluruh tenaganya yang masih tersisa.
Dan Aral tergeletak, terkapar lemah bersimpah darah.
ooOoo
“Greece ... tante, gimana tante?” Ceko datang di rumah sakit dengan napas terengah-engah.
“Ada di dalam” ucap ibu Greece sambil menunjuk ke arah ruangan bertuliskan ICU dengan tangisnya yang merebak.
“Tapi Greece bisa sembuh kan tante?”
“Paru-parunya telah dimakan kanker dan sebagian jantungnya berhenti berfungsi.
“Dokter ...” dokter keluar dari ruangan.
Tersenyum bijak. “Masuklah, sepertinya dia sedang menunggu seseorang. Aral apa ada salah satu dari kalian yang bernama Aral?”
“Itu temen saya dok, tadi saya sudah memintanya datang. Tapi ...” ucap Ceko dengan nada setengah menangis.
“A ... ral ... Aral ...” terdengar rintihan dari dalam.
“Maafin gue Greece.” Gumam Ceko.
Hari sore, Greece terbaring lemah di RS seperti biasa. Ia sudah sadar walaupun dokter telah memutuskan untuk melepas segala peralatan medis yang melekat di tiap napasnya, menjadi saksi akan perjuangannya.
“Kapan Aral dateng?” rintihnya lirih.
“Aral brengsek! Maafin gue Greece,” batin Ceko.
“Ceko? Loe dengerin gue kan?”
“I ... iya. Gue dah bilang kok sama Aral.”
“Kalo Aral dateng, gue mau minta dia buat mbelai rambut aku terus aku mau dia main basket disini. Aku juga ...” Ceko kamu mau kemana?” Ceko terlihat beranjak dari tempatnya.
“Enggak, gue Cuma mau keluar bentar.” Ujarnya sambil mengusap air matanya.
Matahari telah bergeser digantikan nyala terang sang bulan, namun yang dinantikan tak kunjung datang.
“Greece, baiknya loe tidur ya ... dah malem.”
“Gue takut ga bangun lagi kalo gue tidur, ntar gue ga jadi ketemu Aral. Tapi kok Aral ga dateng-dateng sih?
Ceko hanya terdiam.
“Kamu boong kan ko? Aral ga mau kesini kan?” tangis Greece merebak.
“Greece, loe tidur ya ...”
“Kenapa? Kenapa Aral ga mau kesini? Pokoknya aku bakal tunggu dia.” Suaranya semakin melemah Ceko bingung, ia lantas menjuput Hpnya dan mengetik
“Aral, pls gw mhn bgt sm lu, ksn! Greece ngg lu dr tad. Please! Ni permintaan trakhr dy. Kl lu manusia lu hrs DATENG!”
Pesan terkirim ...
Sejam berlalu tapi Aral tetap tak menjawab pesan Ceko sementara Greece sudah tertidur lemas sambil terus mengucap kata “Aral”. Ceko sudah berkali-kali mencoba menelponnya tapi selalu di riject. Dasar binatang! Manusia tak punya perasaan! Umpatnya untuk Aral.

Tengah malam, Ceko masih berkali-kali menghubungi ponsel yang dimatikan.” Please Ral, angkat ...! gumamnya sambil mondar-mandir tak karuan.
“Ceko, Aral masih belum dateng?” Greece tiba-tiba terbangun dan merintih pelan.
“Greece?”
“Padahal tadi gue mimpi Aral dateng trus ngajak gue ke suatu tempat yang indah .... banget. Banyak bintang, bulan terang. Pokoknya nyataa banget. Aaw!”
“Kenapa Greece?”
“E ....” Greece menghela napas. Napasnya terasa sangat sesak.
“Aku panggilin dokter yach!”
“Ga usah, lagian ini kan dah tengah malam”
“Huk ... Huk ...” Greece terbatuk “A ... Ral!”
“Greece ....”
“A ... Ral, loe pasti dateng kan?
“I .. ya ... Greece, bentar lagi Aral dateng.”
“Ceko,”
“Ya,”
“Makasih banget ya, seandainya Aral itu kamu.” Nada suaranya kian melemah dan tepat saat ia meraih tangan Ceko matanya mengatup, menutup segala penderitaannya, lembah air mata ini terbang bersama para bidadari menuruni pelangi.
“GREECE ...”
ooOoo
Paginya tak seekor burung pun berkicau. Greece telah meninggalkan dunia ini dengan kesedihan yang mendalam. Harapan akhirnya pupus. Dan pagi itu pula di saat suasana berkabung menyelimuti lantai 3 rumah sakit, Aral memasukkan bola basketnya bukan pada ringnya. Matanya menatap ke atas dan telinganya mendengar derasnya aliran air mata, namun langkah tetap tak mau mendekatinya.
“Bug! Satu pukulan mendarat di wajahnya, siapa lagi kalau bukan Ceko.
“Kalo loe masih bersedia datanglah ke pemakaman sore ini.” Ceko menghela napas lalu memukul Aral lagi. “Gara-gara loe Greece mati! Loe itu manusia bukan sih? Hah???” Ceko kembali memukul Aral. Kali ini dia sudah tak bisa menahan lagi amarahnya pukulan tajam mengenai pipi kanan Aral lalu pipi kirinya, hidungnya, perut, dan tendangan maut membuatnya benar-benar tak berdaya.
“Greece mati bukan karena gue!” raung Aral.
“Brengsek!!!” Ceko kembali memukul Aral. Saking risuhnya rombongan pihak rumah sakit beserta kakak Aral datang melerai.
“Aral, ya Tuhan! Cukup! Hentikan!” teriak kakak Aral. Ia membawa Aral memasuki arena RS, tak biasa-biasanya. Aral masuk ke dalam RS. Biasanya separah apapun lukanya ia enggan masuk ke dalam RS itu, tapi herannya dia sering main basket disitu!.
ooOoo

Posesi pemakaman berjalan lancar. Banyak dari pihak RS yang ikut hadir menghantarkan Greece ke tempat peristirahatannya yang terakhir. Namun, ya, tak da Aral. Ceko masih bersimpuh di depan nisan dan berpikir sebenarnya apa yang ada di hati Aral, dia sama sekali tak mau menemui Greece saat ia sudah mati pun. Ceko benar-benar heran, sejijik itukah dia pada Greece?
OoOoo

2 bulan berlalu. Gundukan tanah merah tersenyum disertai kibasan angin. Ceko selalu setia meniliknya dan selama 2 bulan itu tak sekalipun Aral menginjakkan kakinya disana.
Lantai 3 rumah sakit. Kini tak ada lagi gadis sayu yang menatap lapangan basket dari sana. Lapangan itupun sekarang kosong. Setelah Greece meninggal, Ceko tak pernah lagi melihatnya. Entah sekarang Aral ada dimana tak ada seorang muda pun yang memainkan bolanya disana. Kecuali Ceko yang tak pernah bisa melepaskan ingatannya tentang kesetiaan Greece dan keangkuhan Aral. Seperti sore ini Ceko pun sedang mendribel-dribel bola dan berusaha memasukkannya ke ring, saat itu matanya menangkap sosok berkursi roda mendekatinya.
“ARAL?” kagetnya melihat sepasang kaki panjang Aral yang menghilang.
“Gue lihat masa depan gue pada Greece. Makanya gue ga mau nemuin dia. Karna gue semakin sakit lihat dia.”
Ceko masih menganga.
“Kalo dulu dia hidup demi gue. Sekarang gue akan benar-benar hidup untuk mewujudkan mimpinya Hidup demi Aral!”

ooOoo SELESAI ooOoo